Peradilan “Pupuk Bawang” dan hukum Islam Dalam Pergumulan Dua Teori Politik hukum (Receptio in Complexu versus Receptie) BAB III Rangkuman Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Achmad Gunaryo)


BAB III
Peradilan “Pupuk Bawang”
dan hukum Islam Dalam Pergumulan Dua Teori Politik hukum
(Receptio in Complexu versus Receptie)

A.    Peradilan dan Hukum Islam Masa Kerajaan Islam
Di antara para ahli sejarah, tidak terdapat kesepakatan tentang kapan persisnya dan kapan Islam masuk ke Indonesia. Dalam observasi Taufik Abdullah ketidaksepakatan itu sebagai akibat dari dua persoalan yang masih diperdebatkan hingga sekarang. Pertama kurangnyua bukti-bukti, bahan-bahan, atau data-data sejarah yang otentik. Kedua kosep dasara yang digunakan masih kabur dan membingungkan. kekaburan ini dipicu oleh percampur-adukan antara (1) “Islam datang” dalam pengertian terdapatnya atau ditemukannya bekas-bekas di suatu tempat, (2) “Islam berkembang” yang diukur dari penemuan situs-situs tempat peribadatan seperti masjid, dan (3) kemunculan islam sebagai suatu kekuatan politik (munculnya kerajaan-kerajaan atau pemerintahan islam seperti Mataram, Demak, Pasai, dan sebagainya).
Sebelum Islam dating ke Indonesia terdapat dua macam peradilan, yaitu Peradialan Perdata dan Peradilan Padu. Materi hukum Peradilan Perata bersumber dari ajaran Hindu dan ditulis dalam papakem. Sedangkan Perdilan Padu menggunakan hukum materil yang tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarskat. Dalam praktiknya, perdailan Perdata menangani persoalan-persolan yang berhubungan dengan wewenang Raja, sedangkan Perdailan Padu menangani persoalan-persoalan yang tidak berhungnan dengan wewenang Raja.
Di Aceh tidak dikenal peradilan lain selain Peradilan Agama. Peradilan Agama di Aceh dilaksanakan secara berjenjang. Pada tingkat desa dikenal adanya pengadilan tingkat desa yang dipimpin oleh seorang keuchik. Perkara-perkara ringan  enjadai kompetisinya, sedangkan perkara-perkara yang lebih berat diselesaikan oleh Balai hukum Mukim. Peradilan Tingkat Banding disebut uleebalang. Di atas banding ini ada Panglima Sago. Sedang yang teratasa adalah Mahkamah Agung yang diketuai oleh Sultan. Anggota Mahkamah Agung terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka, Orang Kaya Raja Bandahara, dan Fakih. Melihat istilah-istilah yang dipakai, cukup beralasan apabila disimpulkan bahwa hukum Islam menjadi hukum materil pada Perdailan Agama di Aceh.
Pemandangan umum tentang Peradilan Agama dan hukum Islam ini menarik Lev untuk melakukan studi tentang Peradilan Agama di Indonesia. Menurutnya, disetiap tempat yang pengaruh Islamnya kuat, di situ terdapat Peradilan Agama. Hanya saja bentuk dari Peradilan ini bermaca-macam. Hakim-hakim agama di beberapa daerah seperti Aceh, Jambi, Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lain diangkat oleh penguasa. Terkadang meskipun Peradialan Agama tidak terdapat di beerapa daerah seperti Sulawesi Utara, Gayo, Alas, Sumatera Selatan, tetapi ulama-ulama yang menguasai hukum Islam diberi tugas oleh penguasa setempat untuk melaksanaakan tugasa-tugas peradilan. Di Jawa sendiri sejak abada keenambelas, disetiap kabupaten telat terdapat Pengadilan Agama. Proses peradilan pada Pengadilan Agama di Jawa ini dilaksanakan oleh para penghulu. Sidang-sidangnya  mengambil tempat di serambi masjid. Karena itu, Pengadilan Agama juga disebut sebagai Pengadilan Serambi. Lev bahkan memastikan bahwa kala itu tidak ada pengadilan resmi lain yang melayani rakyat pulau Jawa, kecuali Pengadilan Agama.
Pada tahun 1628, terbit sebuah kitab hukum Islam, Sirat al-Mustaqim, yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri. Kitab ini dipakai oleh masyarakat Kalimantan untuk memecahkan persoalan-persoalan hukum diantara mereka. Kitab itu ditulis menurut mazhab Syafi’I dan oleh banyak ahli diklaim sebagai kitab hukum Islam pertama yang ditulis oleh seorang ahli hukum dari Indonesia. Kitab itu disebarkan ke seluruh Indonesia.

  1. Pergumulan Dua Teori Politik Hukum
Abad 19 dan 20 merupakan dua dasawarsa puncak imperialisme. Pada kurun waktu itu, bangsa-bangsa imperialis Barat yang haus kekuasaan seperti Inggris, Perancis, dan lain-lain merajalela di mana-mana, terutama di Asia dan Afrika, mengancam Negara-negara berdaulat, untuk dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Eropa. Belanda sendiri jauh, sebelum abada 19 dan 20, telah  menampakkan kaki imperialismenya di Indonesia, Belanda mendapati kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia menganut agama Islam. Sistem social Islam telah berjalan. Lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Peradilan Agama dan hukum Islam telah mapan (well establishid). Raffles selama memerintah Indonesia sebagai pemerintah jajahan (1811-1816) mengamati bahwa, pertama, agama Islam adalah agama yang sudah mapan. Kedua, huku Islam di Indonesia adalah hukum yang hidup (the living law). Ketiga, Penghulu melaksanakan tugas-tugas perdailan dan memainkan peran sebagai hakim. Keempat, hukum yang hidup tadi (hukum Islam) dipakai sebagai hukum materiil dalam persoalan-persoalan keluarga (perkawinan dan kewarisan).
Buta terhadapa Islam dan komunitas Muslim, Belanda memilih untuk tidak mencampuri (netral terhadap) urusan keagamaan pribumi. Para penghulu dibiarkan untuk tetap menyelenggarakan Peradilan Agama. Demikian pula hukum Islam tetap berlaku untuk orang-orang Islam.
Persoalan universalitas Isalam menjadai ketakutan tersendiri bagi Belanda. Kareena itu wajar apabila mereka umumnya menaruh rasa simpati yang sangat tipis terhadap Isalam disbanding golongan adat. Demikian pula mereka lebih suka menyokong adat ini. Golongan pendukung hukum adat pun tampaknya tidak semata-mata politis, tetapi memiliki dukungan filosofis. Mereka ini kerap kali berlindung di balik aliran jurispudensi continental. Aliran ini hanya melihat dan mengidealkan bahwa hukum haruslah tumbuh dari masyarakat secara alamiah. Karena itu, setiap pertumbuhan yang “tidak alamiah” harus ditentang. Hukum Islam, menurut mereka, tidak tumbuh secara alamiah dari masyarakat Indonesia. Meraka ini, seperti kebiasaan para ethnografer, lebih suka mempertahankan dan bahakan menghidupkan kembali apa yang mereka namakan “tradisi”
Sebagai pemimpin aliran hukum baru yang memperoleh dukungan politik pemerintah, Cornelis Van Vollenhoven tidak henti-hentinya mengkritik kebijakan-kebijakan masa lalu, mempersoalkan keberlakuan hukum Islam.
Share on Google Plus

About ariefraihandi

0 comments: