POLITIK PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DI NANGGRO ACEH DARUSSALAM


1.      Politik Pelaksanaan Syari’at Islam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggro AQceh Darussalam, yang merupakan penguatan dari Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, telah memberikan legalitas bagi Aceh untuk melaksanakan Syari’at islam secara kaffah. Salah satu ukuran kaffah adalah pendirian Mahkamah Syar’iyah sebagai pengganti Pengadilan Agama.
Pada tanggal 13 Januari 1947 Residen Aceh membentuk Mahkamah Syar’iyah. Mahkamah Syar’iyah yang telah terbentuk dan memiliki wewenang penuh dalam masalah keluarga dan dan kewarisan itu dipandang oleh ulama belum mencukupi untuk mengembalikan identitas masyarakat Aceh sebagai masyarakat muslim. Mereka menghendaki agar Aceh melaksanakan sayri’at islan yang pelaksanaannya didukung oleh Negara. Kunjungan presiden Soekarno pada tahun 1948 ke Aceh dimanfaatkan oleh para ulama Aceh untuk menjadikan tawar-menawar politik berkaitan dengan pemberlakuan syari’at islam di Aceh Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
Pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh.
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa.
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
Syariat islam sudah di terapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa. Pengadialn di bentuk di tingkat daerah dan di teruskan ke pusat jika terdakwa mengajukan banding. Beberapa hukum yang di laksanakan di antaranya rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan sengaja.
Masa orde lama dan orde baru tidak ada pelaksanaan syariat resmi dari pemerintah. Syariat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di tingkat gampong. Pemerintah memahami betul sikap orang Aceh yang menjunjung tinggi syariat islam sehingga digunakan sebagai senjata politik untuk menarik simpati rakyat dan berhasil.
Setelah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun 2001, pemerintah mencanangkan syariat islam secara kaffah khusus wilayah Aceh. Syariat islam secara kaffah di artikan pelaksanaan hukum syariah secara sempurna oleh pemrintah daerah. Beberapa lembaga yang di bentuk untuk menjalankannya yaitu, dinas syariat islam yang mempunyai tanggung jawab utama pelaksanaan hukum syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.
2.      Pergumulan Pelaksanaan Syari’at Islam
Setelah Aceh mendapatkan legalitas (formal juridis) untuk melaksanakan Syari’at islam secara kaffah, bagaimana implementasinya dilapangan. Belum banyak yang dapat dikatakan. Pelaksanaan itu sendiri belum diberi pola atau format yang jelas selain masih berada dalam taraf eksperimentarif. Memang harus diakui selama pelaksanaan yang masih beberapa tahun itu telah diasilkan beberapa rumusan aplikasi berupa qanun. Tetapi dukungan dari kelembagaan belum seperti yang diharapkan. Karena itu, Mahkamah Syar’iyah masih tampil seperti dahulu kecuali nama yang sudah berubah. Justru dengan hadirnya Mahkamah Syar’iyah menghadirkan sejumlah komlikasi juridis.
Sampai saat ini di Aceh sendiri sebenarnya terdapat sejumlah ketidakpuasan dan kekecewaan pemberlakuan qanun syari’at islam. Ketidak puasan itu umumnya datang dari pemikir dan intelektual. Mereka menyayangkan bahwa qanun –qanun yang dihasilkan ternyata lebih banyak berurusan dengan hal-hal ubudiyah murni (madhah). Seperti shalat jum’at, jilbab, membaca Al-Quran dan semacamnya. Keberatan mereka adalah bahwa  hal-hal semacam itu seharusnya tidak tiatur karena dalam kenyataannya tanpa diatur secara legal formal semua itu sudah berjalan denga sendirinya. Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa mestinya qanun lebih ditunjukkan pada persoalan-persoalan yang lebih konkret yang dihadapi oleh masyarakat Aceh seperti korupsi, kolusi, nepotisma, pengagguran dan semacamnya.
3.      Mahkamah Syar’iyah dan Persoalannya
Kehadiran Mahkamah Syar’iyah banayak menimbualkan komplikasi teoretis dan praktis menyangkut hukum khususnya tentang ketersediaan hukum pidana materil islam atau jinayat dan kompetensi peradilan di Indonesia. Dalam sejarah hukum islam, jinayat adalah hukum yang paling ketinggalan dibandingkan dengan hukum perdata, khususnya keluarga. Persoalan kedua adalah menyangkut lembaga peradilan yang melaksanakan jinayat itu. Terhadap persoalan ini terdapat tiga pendapat. Pertama, pelaksanaan syari’at islam dalam hukum pidana islam diserahkan kepada Pengadilan Negeri. Alasannya karena Pengadilan Negeri telah memiliki kewenangan disamping pengalaman pelaksanaan hukum pidana.
Pendapat kedua menghendaki agar pelaksanaan pidana islam diserahkan kepada Pengadilan Agama. Alasnnya bahwa hakim-hakim Pengadilan Agama lebih mengetahui hukum islam dan memiliki kemampuan ijtihadiyah dan istinbath.
Pendapat ketiga menghendaki dibentuknya lembaga peradilan yang sama sekali baru diluar kedua lingkungan peradilan diatas.
Dari ketiga pandangan diatas, pendapat kedua dan ketiga adalah yang paling mungkin. Ada dua alasan mendasar. Pertama, Pengadilan Negeri bagi kelompok dominan di Aceh di anggap sebagai representasi sekularisme hukum. Kedua dalam sejarahnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama hamper selalu diwarnai dengan pertikaian, khususnya dalam bidang waris. Pengadilan Agama menyelesaikan dengan cara hukum islam sedangkan Pengadilan Negeri dengan menggunakan hukum adat.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana tersebut di atas juga telah diatur dalam Qanun Provinsi. NAD No. 10 Tahun 2002, yaitu Memeriksa, Memutus, dan Menyelesaikan perkara di tingkat pertama dibidang: Al-Ahwal al-Sakhshiyah, Mu’amalat, Jinayat.
Namun sejauh ini Mahkamah Syar’iyah belum dapat melaksanakan kompetensinya dalam bidang jinayat karena beberapa alas an. Pertama, belum adanya dukunga sumber daya manusia. Semua hakim Mahkamah Syar’iyah yang merupakan konversi hakim-hakim Peradilan Agama itu belum memiliki pengalaman. Kedua, belum adanya infrastuktur di luar Mahkamah Syar’iyah yang mendukung pelaksanaan kompetemsi ini. Kejaksaan dan kepolisian belum memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan sehubungan dengan pelanggaran syari’at disamping belum adanya aturan-aturan teknis penyidikan.


Share on Google Plus

About ariefraihandi

0 comments: