Peradilan “Pupuk Bawang” dan Hukum Islam dalam Pergumulan Perundang-undangan Menuju “Court of Law” | Rangkuman Buku Pergumulan Politik Dan Hukum Islam Bab IV


  1. Kasus Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974)
Dalam hal pemberlakuan hukum perkawianan dan kepastian hukum, barangkali umat selain non Muslim tidak menjadi masalah karena secara yuridis formal mereka sudah memiliki hukum perkawinanya sendiri. Bagi golongan Eropa misalnya, berlaku BW (Burgelijk Wetboek) yang merupakan copy dari BW Belanda. BW tersebut jug asebagian besar ketentuannya berlaku untuk golongan Tionghoa sehingga untuk golongn ini tidak menemui masalah. Demikian pula untuk golongan Arab dan Timur Asing, mereka memiliki ordonasi 9 Desember 1924 sebagai hukum perkawinannya. Bagi Kristen pribumi, berlaku HOCI (Huwelijk Ordonatie Christen voor Indonesia). Mereka tidak termasuk dalam semua golongan yang disebutkan di atas berlaku GHR (Regeling op de gemengde Huwalijken). Satu golongan lagi, adalah goongan Muslim pribumi. Mereka ini tidak diakui sebagai bagian dari salah satu kelompok tadi, karena memang secara ideologis tidak pas, kecuali mungkin kelopok Arab. Justru di sinilah persoalan politik tampak sangat jelas.
Ada dua penafsiran yang mungkin diberikan. Pertama, Belanda memaksa kaum pribumi Muslim untuk tunduk pada adat. Dan adat memeng sengaja tidak dikodifikasikan. Jadi, ada pertautan yang saling mengait (intertwined) antara politik hukum dengan politik agama. Kedua, politik hukum polonial sengaja mengaburkan keberlakuan hukum Islam sebagai hukum yang hidup. Dengan kata lain, pemerintahan colonial bersikapa cuci tangan (ignorence) terhadapa urusan kelembagaan muslim pribummi. Dari dua interpretasi tadi tidak dapat dipilah mana yang benar, karena, sebagaimana tampak dalam diskusi pada bab sebelumnya, pemerintah colonial menerapkan dua-duanya dalam situasi yang berbeda-beda.
Berdasarkan itu, maka umat Islam pribumi yang menempati komposisi penduduk terbesar melaksanakan perkawinannya tanpa aturan formal. Karena absennya aturan formal inilah yang menyebabkan sangat longgarnya standar perilaku kukum masyarakatmuslim pribumi dalam bidang hukum keluarga. Di dalam masyarakat itu terdapat angka perceraian yang sangat tinggi, demikian pula perkawinan usia sangat muda, kawin paksa, poligami dan talak yang semena-mena dan lain-lainnya yang berhubungan dengan hukum keluarga.
Setlah Indonesia merdeka, pada tahun 1950, Menteri Agama, H. A. Wahid Hasyim mengabil inisiatif untuk membentuk sebuah kepanitiaan yang bertugas menyusun hukum perkawinan. Kepanitiaan oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan ini didasarkan pada putusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950. Menurut Noeh  sampai pada tahun 1954 kepanitiaan ini telah berhasil menyelesaikan tiga Rancangan Undang-undang, masing-masing: (a) RUU Perkawinan yang bersifat umum sebagai suatu Undang-undang pokok, (b) RUU Pernikahan untuk umat Islam, dan (c) RUU Perkawinan untuk umat Kristen.
Setelah mengalami pasang surut setelah mulai diajukan RUU tentang perkawinan akhirnya dengan dukunga Golkar dan ABRI, pada tanggal 31 Juli 1973 Presiden Soeharto dengan surat No. R.02/P.U/VII/1973 mengajuka RUU Perkawinan kepada DPR, RUU mana mirip Ordonansi Perkawinan tercatat 1973 yang pernah ditolah oleh umat Islam. Dalam surat tersebut pemerintah menyatakan mencabut kembali kedua RUU Perkawinan yang pernah diajukan ke DPR Gotong Royong. Kedua RUU itu adalah:
1.      Rancangan Undang-undang tentang Peraturan Perkawinan Umat Islam yang telah disamapaikan dengan Amanat Presiden Nomor R.02/PRES/5/1967 tanggal 22 Mei 1967.
2.      Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok perkawinan sebagaimana disampaikan dengan Amanat Presiden Nomor R.010/P.U/HK/9/1969 tangal 7 September 1968.
Sebagaimana diutarakan di atas, keinginan untuk memiliki Undang-undang Perkawinan sebenarnya sudah didambakan oleh seluruh warga masyarakat. Namun, pengajuan RUU ini bukannya melegakan semua pihak, tapi justru menuai protes dan kritik yang keras dari kalangan Islam.

  1. Kasus Undang-undang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989)
Pada decade delapan puluha, telah terjadi perubahan-perubahan drastis dalam bidang social, agama, dan khususnya politik. Umat Islam dalam menyalurkan Aspirasi politiknya bukan lagi terjebak pada bentuk-bentuk formalisme dengan kecenderungan ekslusifitas yang tinggi seperti tuntutan berdirinya Negara Islam-suatu tuntutan yang ternyata tidak didukung oleh banyak orang Islam sendiri. Pada decade ini, pendekatan politik yang mereka lakukan lebih substantive dan integrative. Perjuangan mereka lebih mengarah pada sikap-sikap inklusif dan menghindarkan diri dari pemisahan-pemisahan kategoris yang kaku. Inklusifitas itu ditunjukkan dengan pengembangan dan sosialisai wacana bahwa umat Islam adalah bagian dari kategori social yang lebih luas yaitu bangsa Indonesia.
Dilihat dari sejarah pembentukannya, BW yang berlaku di Nederland itu diadopsi dari Code Napoleon bagian civil yang sudah mengalami perubahan sistematika. Jika Code Civil Napoleon berisi tiga buku, BW berisi empat buku (menuruti sistematika Corpus Yuris Civilis dari Kaisar Justinisnus [524-565]). Dari sinilah pengaruh agama Kristen mulai masuk kedalam perundang-undangan Negara. Kaisar Justinius adalah seorang raja dari Bizantium. Kaisar ini menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi Negara. Dari sinilah dapat dipahami bahwa BW yang merupakan pengadopsian dari Code Civil Napoleon tidak dapat dikatakan netral dari ajaran Kristen. Demikian pula BW yang belaku di Hindia-Belanda, dan Indonesia sekarang. Pemberlakuan BW di Indonesia, dalam pandangana Yoesoef Sou’yb (1989) adalah pemberlakuan hukum minoritas terhadapa manyoritas. Karena itu tanyanya, atas dasar apa orang Kristen keberatan terhadapa pemberlakuan hukum Islam terhadap diri mereka sendiri. Agrumentasi di atas sekaligus menolak anggapan bahwa hukum harus terpisah dari pengaruh-pengaruh luar termasuk agama.

  1. Kasus Kompilasi Hukum Islam (intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)
Tak pelak Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah Undang-undang yang secara politis sangat strategis. Undag-undang itu selain berhasil memantabkan keberadaan Peradilan Agama, juga memfasilitasi pelembagaan hukum Islam lebih lanjut sebagimana dituntut oleh Pasal 19. Tampaknya, pemberlakuan Undang-undang ini sengaja dibuat demikian dan diprioritaskan pengajuannya ke DPR. Dengan pengajuan ke DPR lebih awal, maka pelembagaan hukum-hukum materiil Islaml lainnya akan relative lebih mudah dilakukan, atau denga kata lain cost politinya bias ditekan. Pengalaman tahun 1973, menjelang disahkannya RUU Perkawinan, tampaknya memberikan inspirasi bahwa pengajuan hukum materiil terkebih dahulu, mendahului Undang-undang kelembagaan Peradilan Agama secara politik sangat beresiko. Karena itu, cukup masuk akal agrumentasi yang diberikan oleh Munawir Sjadzali (1993b) bahwa pengajuan RUUPA bertujuan untuk memberikan wadah bagi pemberlakuan hukum-hukum Islam lainnya di kemudian hari. Dengan wadah ini selanjutnya tinggal memikirkan isinya.
Secara ideologis, penerapan hukum Islam adalah suatu Ibadah. Dengan demikian, maka penerapan hukum Islam tidak semata-matauntuk mengatur kehidupan manusia, tetapi menyangkut persoalan ruhaniah, atau hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan. Aspek ruhaniah inilah yang justru sering menjadi inspirasi bagi keinginan-keinginan untuk memberlakukan hukum Islam secara utuh. Apalagi hukum Islam sering dipahami sebagai bentuk derivasi dari Syariat. Tidak peduli apakah derivasi itu benar atau tidak, selama itu masih dianggap ada hubungan denga ajaran Islam (dalam hal al-Quran dan Hadits) maka pemberlakuannya terjusdifikasikan.
Secara idealis pragmatis KHI itu tidak sekedar hukum Islam, tetapi hukum Islam khas Indonesia.

Umumnya, para hakim Peradilan Agama melihat bahwa fiqh tidak selamanya cocok dengan kondisi Indonesia. Karena itu, penciptaan fiqh yang sesuai dengan pola budaya masyarakat Indonesia sanagt diperlukan. Demikian pula mereka memandang bahwa jika ingin membuat hukum Islam dan Peradilan Agama lebih fungsional maka terkadang perlu tidak saja melakukan penyesuaian-penyesuaian tadi tetapi juga, jika perlu, mengadopsi elemen-elemen hukum lain termasuk hukum Barat itu tidak kontradiktif dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam.
Share on Google Plus

About ariefraihandi

0 comments: