PROSES PROSES REKONSILATIF MENUJU PERADILAN DAN HUKUM NASIONAL | Rangkuman Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Achmad Gunaryo)

1.      Menuju ke Kesatuan Organisasi Hakim
Dalam pergumulan politik peradilan dan hukum di Indonesia selalu di warnai dengan rivalitas kompetitf tajam yang tak jarang muncul dalam bentuk-bentuk, pada tataran tertentu ketegangan dan konflik yang di sertai dengan seluruh implikasi praktisnya. Rivalitas itu adalah antara Pengadilan Agama versus Peradilan Negeri. Pemberlakuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman ternyata hanyalah menara gading yang indah di pandang mata tetapi tak mampu mengentaskan seluruh lembaga peradilan yang di akuinya. Sejak di berlakukan Undang-undang tersebut masih terjadi subordinasi lembaga peradilan.
Kesetaraan di dalam di antara lemabaga-lemabaga peradilan hanyalah sebatas Undang-undang tetapi absent dalam realitas sampai dekade 90-an misalnya pradilan agama dalam prakiknya beelum di anggap lembaga kekuasaan kehakiman. Meskipun menurut UU No.14 tahun 1970 perkara-perkara dari semua lingkungan peradilan agama dapat di mintakan kasasike Mahkamah Agung.
Adapun upaya memasukkan hakim-hakim agama ke Mahkamah Agung sebenrnya pernah di rintis sejak tahun 1966. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 mahkamah agung terbagi ke dalam tiga kamar yaitu kamar perdata, kamar pidana, dan kamar Islam.
Selain itu, pada kurun ini, departemen agama kesulitan merekrut hakim-hakim dari kalangan intlektual. Menurut observasi Lev para intlektual itu menganggap bahwa jabatan hakim agama sangat rendah kedudukannya, selain mereka ragu tentang kemungkinan hukum Islam dapat tampil secara modern. Sedangkan hakim peradilan agama di samakan dengan penghulu pada zaman klonel yang tugas nya hanya mengurus administrasi perkawinan. Akibatnya hakim-hakim peradilan agama tidak medapat tunjangan fungsional sebagai hakim. Tunjangan itu baru di berikan setelah di lakukan pendekatan yang intensif terhadap Departement Agama, IKAHA, Mahkamah Agung, di satu sisi dengan Menteri pendayagunaan Aparatur Negara( menpan).
Terbentuknya Ikatan Hakim Agama (IKAHA) pada tanggal 13 Desember 1977, berhadapan dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang telah ada sebelumnya.  Tidak jelas apakah ketika membentuk IKAHA, hakim-hakim peradilan Umum telah mengajak hakim-hakim peradilan agama untuk bergabung atau tidak. Paling tidak ada tiga argumentasi yang dapat di kemukakan
1.      Pada masa itu pada tahun 1953 masih banyak pihak yang melihat hakim-hakim peradilan agama bukan sebagai hakim dalam arti yang sesunguhnya
2.      Masa-masa itu sangat di warnai dengan rivalitas yang tajam antara peradilan agama dan pengadilan negeri sebagai pertentangan politis antara mereka yang ingin membubarkan dan mempertahankan peradilan Agama
3.      Sebagai akibat dari masih adanya usaha-usaha untuk membubarkan peradilan agama, maka di kalangan peradilan agama menaruh kecurigaan terhadap setiap upaya “rekonsiliatif” yang berasal dari kalangan peradilan umum.
Dengan terbentuknya IKAHI membawa pergeseran yang cukup signifikan di dalam restrukturisasi kekuasaan kehakiman yang saat ini masih dalam proses pencarian bentuk. Lalu ketua Mahkamah Agung, Soejono mengakui bahwa Mahkamah Agung sendiri berkepentingan untuk menyatukan IKAHA ke dalam IKAHI.
2.      Konsep Peradilan Satu Atap
 Tidak ada dalam setiap episode perkembangan dalam  Islam yang tidak di dominasi oleh pemikiran-pemikiran hukum. Sedangkan pemberlakuan hukum tidak dapat di lepaskan dari keterkaitannya dengan kekuasaan Negara.
Dalam sejarah Islam, sebaliknya perkembangan hukum Islam dan pemikirannya lebih banyak berasal dari pemikiran-pemikiran para intelektual dan ulama. Hukum Islam yang terekpresikan dalam buku-buku sesuai doktrin para juris, buku laporan hukum yang berisi tentang keputusan-keputusan pengadilan. Dalam sistem ini ahli hukum akademisi mengotrol praktik hukum. Konseskuensinya persoalan-persoalan yang ada di benak para juris adalah persoalan hukum murni.
Adapun pandangan filosofis hukum barati  jika dijukstaposisikan dengan sejarah dan perkembangan peradilan agama dan hukum Islam di Indonesia tidaklah ketemu (matched). Dalam sejarahnya pertumbuhannya, peradilan agama tumbuh dari lembaga kemesjidan yang merupakan lembaga agama dan otoritas keagamaan yang di pegang oleh para ulama. Inilah nampak yang menjadi akar ketegangan dan konflik antara konsep peradilan sebagaimana di praktikkan pengadilan agama dan konsep peradilan barat.
Tugas-tugas pelayanan keagamaan yang dilakukan oleh para penghulu secara umum seperti mengelola penguburan mayat, menyatu dengan tugas-tugas peradilan. Maka karena itu tauliyah yang di berikan oleh pejabat agama masih bersifat umum. Karena nya bisa di pahami jika snouck mengatakan bahwa istilah priesterraad, raad agama,atau godsdientige rechtspraak adalah ciptaan Blanda. Demikian juga peradilan agama adalah peradilan ciptaan Blanda.
Sementara snouck lebih melihat pada persoalan epistimologi, kalangan Islam lebih melihat dari persoalan substansi. Mereka umumnya berpendapat bahwa meskipun secara istilah priesterraad adalah ciptaan blanda, secara substansi pradilan agama itu telah ada. Dalam pandangan Ali, itu adalah suatu bentuk pengakuan terhadap sesuatu yang sudah ada.  Dipahami dalam konteks ini maka istilah apa pun yang di tempelkan kepadanya tidak menjadi penting, termasuk istilah penghulu, karena penghulu berbeda dari hakim. Sebenarnya kalangan islam sendiri keberatan dengan istilah priesterraad. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Busthanul Arifin.
Argumentasi Arifin di atas yang mengkaitkan profesionalisasi dengan keagamaan, tidaklah tepat seluruhnya. Istilah profesionalisasi itu sendiri muncul sebagai dampak munculnya negara modern. Karena itu, peradilan dalam Islam yang di barat di kenal dengan istilah (jurusdiction under palm tree) peradilan di bawah pohon kurma.
Terlepas dari kenyataan bahwa kalangan islam tidak dapat menerima argumentasi snouck maupun sejumlah langkah yang dilakukan oleh pemerintah klonial, sejuhlah istilah dan aturan (khususnya staadblad 1882 Nomir 152) yang di keluarkan oleh pemerintah klonial yang menyangkut peradilan agama memiliki arti pertimbangan be]agi evolusi peradilan itu sendiri. Pergumulan klonial secara tidak disadari telah mengiringi pengadilan agama ke arah otonomisasi dan profesionalisasi.
Barangkali yang perlu di lakukan penelitian tersendiri adalah di mana lokasi Peradilan Agama itu umumnya berada pasca terpisahnya dengan mesjid. Ini karena menurut catatan ichtijanto 1995 sampai tahun 1980 banyak sekali peradilan agama yang menempati bangunan-bangunan kontrakan
Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, pada praktiknya semakin menjauhkan keterpisahan pengadilan agama dari mesjid. Akselerasi keterpiasahan ini terlihat dari perekrutan tenaga hakim. Sejak tahun 1989, telah terjadi pergeseran besar-besaran hakim-hakim yang berstatus ulama atau mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum.
Kondisi peradilan agama dan persepsi hakim semakin menambah keyakinan bahwa keberadaan peradilan agama di lingkungan mesjid terasa terbebani sementara pengadilan agama dan para pegawainya menerima subsidi tetap di pemerintah dan di jalankan atas prinsip-prinsip profesioanalisme, mesjid yang ketempatan di kelola secara volunter dan sosial.
Undang-undang nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kakuasaan kehakiman. Ini berarti pencabutan peradilan agama dari departemen agama. Pasal 11 UU No 35 tahun 1999 menyatakan:
1.      Badan-badan peradilan agama sebagaimana di maksud dalam pasal 10 ayat (1), secara oragnisatoris berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
2.      Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana di maksud ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan di atur lebih lanjut dengan Undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
3.      Di antara pasal 11 dan pasal 12 di sisipkan 1 (satu) pasal, yakni pasal 11 A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11 A
1.      Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana di maksud pasal 11 ayat 1 di laksanakan secara bertahap, paling lama 5 tahun sejak undang-undang ini berlaku
2.      Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi pengadilan agama waktunya tidak di tentukan sebagaimana di maksud dalam ayat 1
3.      Ketentuan mengenai tata cara pengaliharan secara bertahap sebagaimana di maksud dalam ayat 1, di tetapkan dengan keputusan presiden.
Kemungkinan terjadinya resistensi dari kalangan Islam nampaknya telah di antisipasi dalam pasal 11 A ayat (2). Ayat ini menyebutkan bahwa khusus waktu peralihan peradilan agama tidak di tentukan lima tahun, sebagaimana lingkungan peradilan lain. Majelis ulama Indonesia (MUI) dalam usulannya terhadap perubahan UU NO.14/1970.
Tanggal 1 juni 2004 menyatakan bahwa tarik-menarik antara departemen agama dan mahkamah agung akhirnya di menangkan oleh mahkamah agung. Meskipun pasal 11 A ayat (2) UU Nomor 35 tahun 1999 menetukan bahwa pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi peradilan agama tidak di tentukan waktunya, mulai 1 juli 2004 peradilan agama resmi berpidah dari departemen agama ke Mahkamah Agung. Ketua mahkamah agung sendiri yang sambutannya dalam upacara penerimaan penyatuan peradilan agama di bawah mahkamah agung tanggal 1 juli 2004 menyatakan bahwa berjanji untuk mempehatikan dan memperbaiki penampilan peradilan agama.
3.      Advokat Syari’ah (APSI)
Secara teoritis akademis, kemunculan mereka sama dengan kemunculan advokat pada umunya, yakni sebagai dampak positifisasi hukum yang di mulai dengan munculnya konsep negara modern pada abad 17 ketika terjadi penandatanganan “treaty of westphalia” perjanjian ini menandai kedaulatan dari tangan pribadi raja ke seluruh wilayah teritorial atau nation. “Law for the lawyers”atau lawyer’s law lanjut Rahardjo, karenanya, merupakan tonggak pelacakan perkembangan hukum untuk para profesional. Konsekuensi lainnya adalah perkembangan aliran positif-analitis atau rechsdomatiek dalam dunia hukum.
Munculnya sarjana syari’ah sebagai advokat tidak dapat di lepaskan dari gejala umum yang mendahuluinya, kemunculan mereka sebagai dampak positifisasi dan kodifikasi hukum islam yang terjadi di Indonesia, terutama setelah pemberlakuan undang-undang No. 7 Tahun 1989 dimana peradilan agama telah diperlakukan sejajar dengan lingkungan peradilan lainnya yang diakui oleh UU No. 14 Tahun 1970, selain kompilasi hukum Islam (inpres No.1 Tahun 1991).

Dalam konstelasi politik hukum saat itu dimana peradilan agama terpinggirkan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman ditambah belum adanya hukum materil islam yang tertulis, menjadikan peraturan mentri agama No. 1/1983 tidak efektif. Pada tahun 1998 mahkamah agung mengeluarkan surat edaran No.1 Tahun 1998 tentang 9 mata ujian yang harus di tempuh bagi calon pengacara. Surat yang ditujukan kepada semua ketua pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama itu menyatakan bahwa meski harus menempuh sembilan mata ujian yang sama, jika lulus sarjana syariah hanya boleh beracara di pengadilan agama. Sementara sarjana hukum, dengan mata ujian yang sama dengan penguji yang sama, boleh beracara di semua lingkungan pengadilan. SEMA itu pada kenyataannya mampu menekan peraturan mentri agama tadi semakin terpojok dan akhirnya mati. SEMA belakangan yang mucul pada tahun 1998 semakin memformalkan diskriminasi ini, karena Ketua Muda Urusan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara (TUADA ULDILTUN) menolak usulan mentri agama.
Share on Google Plus

About ariefraihandi

0 comments: